Penjelasan dan Rencana Implementasi MLFF Pengganti Kartu E-Toll

Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT) Kementerian PUPR menyebutkan tiga metode pembayaran yang dapat digunakan pengemudi pada sistem pembayaran tol tanpa kartu elektronik atau sering disebut Multi Lane Free Flow (MLFF). MLFF merupakan proses pembayaran tanpa berhenti. Artinya, pembayaran tidak perlu menghentikan kendaraan di gerbang tol untuk menempelkan kartu. Teknologi yang digunakan untuk MLFF ialah  sistem satelit navigasi Global Navigation Satelit System (GNSS). Ini adalah sistem yang memungkinkan melakukan transaksi dengan aplikasi smartphone dan dibaca dengan satelit.

GPS (Global Positioning System) selanjutnya menentukan posisi yang ditentukan oleh satelit dan proses pencocokan peta (map-matching) dilakukan di sistem pusat. Ketika kendaraan meninggalkan jalan tol dan proses pencocokan peta selesai, sistem akan menghitung tarif. Sistem ini menghemat waktu tempuh karena pengemudi tidak harus berhenti di pintu tol. Jadi, saat kendaraan melewati pintu tol, salo uang elektronik yang ada pada aplikasi di smartphone akan otomatis terpotong. Nantinya, terdapat alat untuk merekam pergerakan pengemudi dan mencatat plat nomor kendaraan. Dengan demikian, penggunaan MLFF memiliki manfaat sangat besar karena bisa menghilangkan waktu antrian menjadi nol detik

Kepala Badan Pengatur Jalan Tol Danang Parikesit menyebutkan dari tiga metode yang dapat digunakan salah satu metodenya, yakni electronic on board telah digunakan oleh sejumlah pengemudi pada saat ini. “Ada tiga metode yang bisa dipilih, yaitu electronic on-board unit, on board unit, dan electronic route ticket,” jelas Danang kepada Bisnis, Kamis (19/05/2022).

Menurut Danang, setiap metode memiliki spesifikasi yang berbeda-beda meskipun kegunaaannya sama. Misalnya, pengguna yang ingin membeli electronic route ticket dapat melakukannya di aplikasi MLFF maupun situs resmi, dengan memilih titik masuk dan keluar tol. Sementara itu, untuk metode electronic onboard (E-OBU) ialah aplikasi yang diunduh pada ponsel dan terintegrasi dengan sistem pembayaran di gerbang tol.

Sumber: Bisnis.com

Benarkah Telur Sebagai Bahan Perekat Untuk Membangun Candi Jaman Kuno?

Kita sering mendengar cerita bahwa nenek moyang kita ketika membangun candi menggunakan putih telur sebagai perekat batu candi karena pada waktu itu belum ditemukan bahan perekan semen.

Cerita ini  kita dengar bukan hanya pada bangunan candi saja yang di klaim demikian, tapi juga pada bangunan lain contohnya istana Air Taman Sari Yogyakarta juga konon menggunakan telur putih. Tapi apakah benar candi sekokoh Borobudur menggunakan telur putih merupakan bahan pengganti semen?

Praktik mencampur bahan organik ke dalam campuran semen atau mortar sepertinya bukanlah hal yang aneh. Praktik ini bahkan terkadang masih dilakukan dan didiskusikan oleh berbagai peneliti. Bahan organik yang dicampur pun juga beragam, mulai dari telur, lemak hewan bahkan ada yang bilang bahwa tembok Cina dibangun dengan bantuan ketan (sticky rice) dan putih telur.

Sebelumnya perlu teman cerita pahami bahwa dalam dunia konstruksi, perekat antara bata atau batu disebut sebagai mortar atau spesi. Biasanya bahan ini merupakan campuran dari pasir, semen, dan air. Mortar digunakan untuk merekatkan benda seperti bata atau batu.

Kembali ke cerita telur, entah siapa yang memulai cerita penggunaan telur putih sebagai perekat batu candi. Namun, ternyata cerita ini bukan saja ditemukan di bangunan candi                                                                                                                                                                                                        Indonesia. Beberapa negara lain di Asia dan Eropa juga memiliki cerita bahwa bangunan tua mereka dibangun dengan bantuan putih telur.

Salah satu fenomena ini dapat kita temui  di Filipina. Legend says, bangunan gereja-gereja tua di Filipina dibangun dengan mortar yang memiliki campuran putih telur. Praktik ini dibawa oleh orang-orang Spanyol saat datang ke Filipina.

Sebuah penelitian pernah dilakukan untuk membuktikan bahwa apakah benar mortar pada bangunan-bangunan tua di Filipina memiliki elemen protein dari telur, sayangnya hasil penelitian tersebut negatif (Eusebio, 2009). Namun, dokumen-dokumen sejarah mengindikasikan adanya penggunaan telur dalam jumlah besar dalam sebuah renovasi gereja di Filipina (Jose, 1986; 2003).

Secara teori, telur sebagai campuran mortar bertujuan untuk menghambat penguapan air. Telur mengikat air agar bertahan dengan semen selama mungkin agar tidak cepat mengering. Putih telur juga dapat meningkatkan konsistensi, kekompakan, daya tahan dan mengurangi risiko retak pada mortar. 

Batu Candi Bukan Direkatkan dengan Putih Telur

Dari beberapa contoh dapat kita ketahui bahwa putih telur pada dasarnya merupakan zat aditif bukan zat utama. Konstruksi asli candi umumnya tidak menggunakan bahan mortar sebagai perekatnya.

Hal ini dapat kita lihat di Candi Borobudur. Mortar di Candi Borobudur baru digunakan pada proses pemugaran yang dilakukan oleh Van Erp pada tahun 1907-1911. Pada saat itu kondisi konstruksi Candi Borobudur memprihatinkan. Air akan muncul dari sela-sela batuan ketika turun hujan sehingga bisa menyebabkan air menggenang. Van Erp kemudian menggunakan mortar untuk mengatasi hal tersebut.

Batu – batu candi akan dipahat sedemikian rupa sehingga batu akan saling mengisi dan mengunci satu sama lain. Dalam buku Kearsitektural Candi Borobudur yang disusun Balai Konservasi Peninggalan Borobudur disebutkan bahwa pada Candi Borobudur batuan andesit ditata dengan pola susun batu arah horizontal. Jenis sambungan batu yang ada pada Candi Borobudur ada empat yaitu:

Pertama, sambungan batu dengan bentuk seperti ekor burung. Sambungan tipe ini dijumpai hampir pada setiap sambungan batu di dinding.

Teknik yang digunakan pada candi dengan bahan bata agak sedikit berbeda. Perekat pada candi yang dibangun dengan bata menggunakan serbuk hasil gosokan permukaan antar bata. Serbuk ini kemudian diberi air sehingga dapat membuat bata saling melekat.

Sebuah candi tidaklah dibangun dengan asal-asalan. Semua dibuat dengan perhitungan yang presisi. Layaknya sebuah lego, satu per satu batu candi disusun sedemikian rupa sehingga bisa berdiri kokoh. Bangunan candi menjadi bukti kemahiran dan kejeniusan bangsa kita sehingga harus tetap kita jaga dan lestarikan. Mari kunjungi, lindungi, dan lestarikan cagar budaya yang ada di sekitar kita.

Sumber : https://skalacerita.com